Ketika jumlah penderita demam berdarah dengue terus meningkat di banyak tempat, Malaysia tidak kekurangan akal. Dari penelitian tentang karakter nyamuk Aedes aegypti, penyebar penyakit itu, para ilmuwan di Malaysia menemukan cara mengurangi penyebaran penyakit tersebut: perpendek masa hidup nyamuk Aedes aegypti jantan. Beres.
Kiprah ilmuwan Malaysia tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada Senin (11/10) di Kuala Lumpur, Malaysia, pada acara sela Konferensi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tidak main-main, meski itu baru berupa proyek percontohan, setidaknya Najib Razak berani mengklaim bahwa Malaysia akan merupakan negara pertama yang menggunakan pendekatan modifikasi genetika pada nyamuk untuk memerangi serbuan penyakit demam berdarah dengue (DBD).
Nyamuk-nyamuk jantan hasil dari pelaksanaan program tersebut nantinya akan dilepaskan ke kehidupan liar. Rencananya, menurut pejabat Kementerian Kesehatan Malaysia, Lim Chua Leng, akan dilepaskan 2.000 hingga 3.000 nyamuk yang sudah dimodifikasi secara genetika ke dua area, kemungkinan pada bulan ini dan November mendatang.
Nyamuk jantan yang dilepaskan ini telah dimodifikasi secara genetika. Hewan-hewan pejantan ini ketika membuahi nyamuk betina, anak-anak nyamuk yang dilahirkan akan berusia lebih pendek. Artinya, nyamuk-nyamuk yang dilahirkan tersebut tidak akan mencapai cukup usia matang untuk membuahi nyamuk betina lagi. Dengan demikian, populasi nyamuk Aedes aegypti akan berkurang secara bertahap.
Menurut para ilmuwan Malaysia, uji coba yang dilakukan di laboratorium telah memberikan hasil yang memberi rasa optimistis. ”Ini proyek percontohan dan kami harapkan berhasil,” ujar Najib Razak, kemarin.
Direktur Regional Pasifik Barat WHO Shin Young-soo, Minggu (10/10), telah memberikan lampu hijau pada upaya yang dilakukan Malaysia dalam melawan DBD. Menurut harian the Star, Young-soo mewanti-wanti bahwa pelepasan spesies baru ke dalam lingkungan harus diikuti dengan pengawasan yang ketat dan teliti. Peringatan serupa disampaikan oleh beberapa aktivis lingkungan karena melepaskan jenis spesies baru bisa memicu akibat yang tidak diinginkan.
Prinsip serupa
Studi yang mirip telah dipublikasikan tahun lalu. Scott O’Neill dari University of Queensland di Brisbane, Australia, bersama rekan-rekannya dalam penelitian mereka menemukan bahwa bakteri Wolbachia strain tertentu mampu mencegah sifat patogenik nyamuk Aedes aegypti karena mereka bisa menyebabkan berkurangnya usia nyamuk Aedes aegypti hingga separuh usianya yang biasa. Jadi, praktis diharapkan bahwa jumlah nyamuk pembawa dengue akan berkurang jumlahnya.
Nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia ini disebut sebagai nyamuk dengue-resistant (tahan dengue), sementara yang tidak membawa bakteri Wolbachia disebut sebagai nyamuk non-dengue-resistant (bukan tahan dengue).
Nyamuk Aedes aegypti betina yang membawa Wolbachia akan menurunkannya ke telurnya. Para ilmuwan berharap, nyamuk-nyamuk tahan dengue ini akan segera mendominasi populasi nyamuk Aedes aegypti. Rencananya, nyamuk-nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini akan dilepaskan di Vietnam dan Australia.
Mari kita hitung probabilitas nyamuk Aedes aegypti betina menurunkan nyamuk-nyamuk tahan dengue. Nyamuk-nyamuk Aedes aegypti betina tahan dengue memiliki kesempatan kawin dengan kedua golongan nyamuk, yaitu tahan dengue dan bukan tahan dengue.
Sementara nyamuk betina Aedes aegypti bukan tahan dengue hanya bisa dibuahi oleh nyamuk-nyamuk jantan bukan tahan dengue. Jelas bahwa kemungkinan melahirkan nyamuk-nyamuk tahan dengue sebenarnya masih lebih kecil daripada kemungkinan munculnya nyamuk-nyamuk bukan tahan dengue. Meski demikian, ini adalah langkah awal untuk menekan angka penyakit DBD yang terus meluas.
Angka penderita
Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan RI, penderita DBD pada tahun 2008 mencapai 137.469 kasus dengan korban meninggal 1.187 orang. Pada tahun 2009 tercatat 154.855 kasus dengan korban meninggal lebih banyak, yaitu 1.384 orang.
Pihak WHO telah memberikan peringatan bahwa setiap tahun, sekitar 2,5 juta orang rentan terkena DBD—yang dikenal sebagai penyakit infeksi yang penyebarannya tercepat dan disebut sebagai ”pertumbuhannya amat dramatis dalam puluhan tahun terakhir”. Berdasarkan catatan WHO, Asia merupakan daerah dengan 70 persen dari jumlah penduduk dunia yang rentan terinfeksi. Peningkatan jumlah penderita diduga keras akibat peningkatan suhu global, perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, serta melesatnya pertambahan angka perjalanan antarnegara.
Sementara itu, menjaga kebersihan serta kampanye 3M (menutup, menguras, dan mengubur) rupanya belum mempan untuk mengurangi secara signifikan penyebaran DBD. Demikian pula pengasapan yang selama ini masih dilakukan di banyak tempat. Sejumlah pendapat menyebutkan, pengasapan hanya mampu ”mengusir” nyamuk Aedes aegypti, tetapi tidak membunuhnya. Maka, berbagai upaya lain amat membesarkan hati meski masih butuh waktu lama untuk sampai kepada implementasinya. Yang penting kita telah menanam harapan
0 comments:
Posting Komentar
Mohon komentarnya dengan tutur bahasa yang baik, terima kasih