Rabu, 03 September 2014

SOS Hiu

seekor hiu martil mati mengenaskan karena diambil siripnya (sumber: kompas.com)

Hiu mungkin terdengar sebagai hewan buas bagi kita. Digambarkan dengan taring yang tajam hiu mengancam orang-orang yang berenang di pantai. Sampai-sampai menginspirasi pembuatan film mengerikan seperti film Jaws, Shark attack dll. Dalam film tersebut jelas menggambarkan begitu berbahayanya hewan bertulang rawan ini bagi keselamatan manusia. Adegan demi adegan hiu memangsa manusia dipertontonkan dengan apik menyihir siapapun yang menonton sehingga menjadi takut dengan hewan ini.

Namun faktanya, seberapapun buasnya hiu dalam adegan tersebut tetap saja manusialah yang paling buas dialam ini. Hanya untuk memenuhi hasrat berlandaskan keyakinan pada mitos  saja, terdapat masyarakat yang gemar mengonsumsi soup sirip hiu. Akhir-akhir ini jumlah orang yang mengonsumsi sirip hiu bertambah banyak walau harganya mahal. Alhasil permintaan akan sirip hiu meningkat dan perburuan hewan berdarah dingin ini pun meningkat. Harga sirip hiu yang mahal membuat sekelompok para nelayan pemburu hiu hanya memerlukan siripnya saja. Mereka menangkap hiu utuh kemudian memotong siripnya saja kemudian tubuh nya diceburkan lagi kelaut. Ada beberapa bagian tubuh tempat menempelnya sirip pada ikan hiu, di bagian dorsal atau punggung, bagian dada atau pectoral, bagian perut atau abdomen dan di bagian ekor atau caudal. Kesemua sirip tersebut dipotong untuk kemudian di jual.

Semua makhluk hidup memiliki peranan tersendiri bagi keseimbangan ekosistem, termasuk hiu. Hiu bersifat karnivora atau pemakan daging menempati puncak tertinggi dalam rantai makanan di laut seperti halnya hewan karnivora di darat seperti harimau, singa, serigala, elang sebagai puncak tertinggi rantai makanan. Jika jumlah populasinya menurun hal ini berarti akan terjadi ganguan pada keseimbangan ekosistem laut. Dan hal ini tentu akan berdampak juga secara tidak langsung kepada manusia. Jika populasi menurun otomatis ikan lain yang bersimbiosis dengan hiu juga turun. Jika populasi ikan tersebut turun maka apa yang dimakan oleh ikan tersebut jumlahnya melimpah melebihi ambang batas. Hal tersebut akan merugikan ikan lain yang bermanfaat untuk manusia  sehingga pupulasinya menurun. Begitu seterusnya menjadi seperti efek domino yang ujungnya akan merugikan manusia juga. Oleh karena itu marilah kita lebih arif dan bijaksana lagi kepada alam. Mari bergabung untuk mengkampanyekan penghentian pengambilan sirip hiu, mengkritik restoranyang menyajikan sirip hiu, dan tentusaja stop untuk mengkonsumsi sirip hiu dengan kaos trendi. 

kaos kampanye stop shark finning

Rabu, 03 April 2013

Nobel untuk Protein Sang Ubur-ubur



Frog-GFP-dn14895-1 250

Kodok hasil rekayasa genetik dengan gen Ubur-ubur.
Siapa tak kenal ubur-ubur, hewan nyentrik nan indah berwarna-warni terlihat seperti memancarkan cahaya berkilauan. Hewan ini sering menjadi maskot makhluk laut, sampe-sampe Spongebob dan Patrick pun hobi berburu ubur-ubur. Dan siapa sangka hewan mungil ini mengantarkan tiga orang ilmuwan meraih hadiah Nobel bidang kimia tahun 2008 karena mengisolasi dan mengembangkan salah satu protein yang kini jadi favorit para ilmuwan di seluruh dunia, yaitu Green Fluorescent Protein (GFP).Protein ini memendarkan cahaya hijau ketika terpajan (exposed) pada cahaya biru. Dan gen pengkode protein ini telah dicoba diklonkan ke dalam sel makhluk hidup seperti bakteri, yeast, serangga dan bahkan manusia, untuk membuktikan bahwa suatu gen “alien” (asing) dapat diinsersi, diekspresikan dan dilewatkan.
Saat ini GFP telah digunakan dalam berbagai aplikasi, mulai dari mencari obat untuk menangani ketulian hingga membuat ANDi –primata pertama hasil rekayasa genetika– yang saat ini digunakan untuk mengembangkan pengobatan untuk penyakit Huntington. Bahkan GFP ini berpotensi digunakan untuk menemukan bahan tambang di lokasi pertambangan melalui bakteri yang dilabel GFP. GFP juga bisa berkelap-kelip pada temperatur yang berbeda-beda, sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai termometer kecil. Sungguh luar biasa. Maka tak heran jika Osamu Shimomura (Marine Biological Laboratory, Woods Hole), Martin Chalfie (Columbia University, New York) dan Roger Tsien (the University of California, San Diego) menerima hadiah Nobel untuk jasa mereka.
Berikut ini adalah gambar-gambar terkait GFP yang sangat menarik yang diambil dari situs NewScientist.com

Aequorea victoria

Image: Markus Nolf, Wikimedia Commons
Image: Markus Nolf, Wikimedia Commons
Sebuah protein fluorescent dari ubur-ubur kristal (Aequorea victoria) yang tinggal di Samudera Pasifik Utara, membuat penemunya menerima anugerah Nobel bidang kimia.
Dengan menautkan gen yang mengkode Green Fluorescent Protein (GFP) dengan gen lain, para ilmuwan dapat melacak sel dan organisme secara rinci dan indah.

Warna-warni GFP

2 - fpbeachtsien
Image: Nathan Shaner, Paul Steinbach, Roger Tsien, Wikimedia Commons
GFP asli bekerja dengan baik pada luminisensi Ubur-ubur, tetapi para ilmuwan merasa kurang puas dan berusaha mengembangkan GFP ini selama dua dekade terakhir. Mereka melakukan teknik rekayasa genetika untuk membuat GFP berpendar lebih terang, lebih lama dan bahkan dengan warna-warni berbeda.
Gambar di atas bukanlah coretan crayon anak SD, tetapi merupakan goresan bakteri dalam cawan Petri yang mengekspresikan GFP dalam berbagai versi yang berbeda warna. Benar-benar keren!

GFP Pada Mencit

3 - mice
Image: University of Pennsylvania
Mencit pun kini sudah berhasil ‘dimodifikasi’ agar dapat berpendar seperti Ubur-ubur, mereka kini dapat mengekspresikan GFP di dalam setiap sel tubuhnya.

Macaca pun Bisa Hijau

4 - nature06975-f1
Image: Anthony Chan, Yerkes National Primate Research Center
Bahkan, organisme yang sangat kompleks seperti Macaca ini pun kini bisa ‘disusupi’ GFP. Para ilmuwan merekayasa beberapa rhesus Macaca untuk mengekspresikan GFP bersama dengan sebuah protein yang menyebabkan sang hewan menderita penyakit Huntington, sebuah penyakit neurodegeneratif. GFP digunakan untuk memastikan bahwa gen penyebab penyakit tadi telah ‘merasuk’ ke dalam tubuh monyet tadi.

Struktur 3D GFP

5 - protein gfp 1ema
Image: Alexander Brandt, Wikimedia Commons
GFP sendiri terdiri atas 238 asam amino. Bentuknya yang menyerupai gentong inilah yang menjadi kunci sifat fluoresensi yang dimiliki GFP.

GFP pada Yeast

6 - yeast membrane proteins
Image: Masur, Wikimedia Commons
Ragi kue/roti di atas mengaktifasi dua versi GFP yang berbeda pada membran permukaannya, yaitu GFP hijau dan merah.
Jika protein yang berwarna merah dan hijau sama-sama terekspresi di dalam sel, maka akan terlihat corak warna kekuningan. Sifat ini membantu para ilmuwan jika GFP digunakan untuk melacak dua protein yang berada di dalam lokasi yang sama di dalam sel.

Pelangi GFP

7 - brainbow-749458
Image: Jean Livet et al, Harvard University
Gambar di atas adalah sel-sel otak tikus –disebut brainbow– merupakan kombinasi antara protein ubur-ubur dan protein fluorescent koral.
Dengan mencampurkan protein fluorescent yang berwarna hijau, merah, kuning dan oranye, para ilmuwan dapat membuat hingga 90 warna yang berbeda. Palet warna ini dapat melacak jaringan yang rumit koneksi antara sel-sel otak.
Dengan begitu besarnya manfaat GFP dan luasnya aplikasi GFP dalam berbagai penelitian, maka pantaslah sang ilmuwan yang pertama kali menemukan manfaat besar protein ini untuk dianugerahi hadiah Nobel. Yang jelas manfaatnya akan makin terasa terutama dalam penelitian mengenai mekanisme penjangkitan dan pengobatan suatu penyakit. Tak sia-sia Allah SWT menciptakan sesuatu, pasti ada manfaatnya.

GFP dalam Studi Ekspresi Gen



GFP diisolasi dari Ubur-ubur untuk digunakan dalam studi ekspresi gen (image from nobelprize.org)
GFP diisolasi dari Ubur-ubur untuk digunakan dalam studi ekspresi gen (image from nobelprize.org)
GFP atau Green Fluorescent Protein adalah protein yang dapat berpendar yang secara alami dihasilkan oleh ubur-ubur. GFP kini digunakan secara luas dalam studi-studi ekspresi gen maupun mikroskopik karena aplikasinya yang relatif mudah. Hanya dengan adanya pendaran cahaya dapat menunjukkan bahwa gen yang kita teliti terekspresi. Hmm, bagaimana bisa?

Dalam artikel terdahulu telah disebutkan bahwa sang ubur-ubur atau Jellyfish telah menghantarkan 3 peneliti meraih hadiah Nobel bidang kimia tahun 2008. Mereka adalah Oshamu Shimomura yang memurnikan GFP dan mendeskripsikan sifat biofisik serta proses berpendarnya GFP, lalu Martin Chalfie yang beberapa tahun kemudian melaporkan keberhasilannya mengekspresikan gen GFP di dalam sel E. coli dan C. elegans, serta Roger Tsien yang berhasil memodifikasi warna pendaran hijau GFP menjadi bermacam warna yaitu cyan, biru dan kuning dengan cara mengubah satu asam amino pada GFP. Atas jasa mereka kini para peneliti sangat terbantu dalam melakukan studi ekspresi genetik.
Roger Tsien berhasil membuat GFP ubur-ubur berwarna-warni (image from scienceboard.net)
Roger Tsien berhasil membuat GFP ubur-ubur berwarna-warni (image from scienceboard.net)
GFP menjadi istimewa karena ia bersifat auto-katalitik, tidak membutuhkan kofaktor atau enzim lain agar ia bekerja. Selain itu GFP dapat digabung (fusi) dengan protein lain tanpa saling mengganggu fungsi masing-masing. Sehingga GFP dapat digunakan secara luas di berbagai organisme.
Pendaran GFP dapat diamati secara visual dengan bantuan mikroskop. Berikut ini beberapa teknik dalam aplikasi GFP.

Fusi Translasi

Teknik pertama dikenal dengan fusi translasi, dimana ORF (Open Reading Frame) GFP diklon di belakang ORF gen yang akan kita amati, sehingga nanti akan ditranslasi menjadi sebuah protein gabungan yang panjang. Jadi jika kita melihat pendaran GFP maka berarti protein yang kita amati pun terekspresi di situ. Cahaya fluorescent GFP dapat diamati dalam bentuk gambar diam maupun bergerak sehingga kita dapat mengetahui lokasi dan pergerakan protein di dalam sel.

Fusi Transkripsi

Teknik kedua disebut fusi transkripsi dimana ekspresi gen yang kita amati dan GFP digerakkan melalui promoter yang sama tetapi antara kedua gen tersebut diselingi oleh stop kodon, jadi ekspresinya berbarengan namun tetap menghasilkan dua protein terpisah. Dalam hal ini sel yang mengekspresikan gen pertama akan dipenuhi oleh GFP yang larut sehingga berpendar, dan bisa mendeteksi sel mana yang mengekspresikannya.

FLIP dan FRAP

Sel yang mengekspresikan GFP (image from bumc.bu.edu)
Sel yang mengekspresikan GFP (image from bumc.bu.edu)
Kita tahu bahwa suatu molekul mengemisikan cahaya fluorescent ketika ia tereksitasi, namun kondisi ini tidak berlangsung selamanya, dalam jangka waktu tertentu cahayanya akan redup dan padam. Nah, FLIP dan FRAP ini digunakan untuk mempelajari dinamika protein yang terlabel GFP. Caranya dengan bleach-out(memadamkan) daerah tertentu pada sel, kemudian dilihat berapa lama waktu yang diperlukan oleh protein terlabel protein untuk “merembes” kembali ke area gelap tadi, teknik ini yang disebut FRAP (Fluorescent Recovery After Photobleaching). Kita juga dapat mengamati seberapa besar penurunan intensitas fluorescent secara keseluruhan di bagian sel yang lain ketika protein yang sudah diphotobleach tadi terdifusi, atau disebut FLIP (Fluorescent Loss in Photobleaching).

FRET

FRET atau fluorescence resonance energy transfer sudah banyak diaplikasikan dalam beberapa teknik seperti Real Time PCR. Prinsipnya yaitu dengan memanfaatkan dua buah fluophore (zat yang dapat berfluorescent) yang mana fluorophore pertama memiliki spektrum emisi yang tumpang tindih dengan spektrum eksitasi fluorophore kedua. Jadi ketika fluorophore pertama memancarkan cahaya fluorescent, otomatis yang kedua pun akan tereksitasi dan memancarkan fluorescent. Dalam aplikasinya, dua buah protein dilabel dengan dua macam GFP yang memenuhi kriteria FRET tadi. Kemudian sel ditembak dengan laser yang dapat mengeksitasi hanya fluorophore pertama. Dengan demikian jika protein kedua ada dekat dengan protein pertama, otomatis akan terdeteksi juga karena memancarkan cahaya yang berbeda.
Bagaimana, apakah Anda pernah mempunyai pengalaman riset dengan GFP?
Sumber: Bitesizebio.com